Tuesday, 27 December 2011

Sang mantra

Ehm... berhubung sebentar lagi tutup tahun, Rachma mau mengulas ringkas perjalanan PhD di Belanda ini. Eh, tapi gak janji beneran ringkas deng, haha. Kalo jadinya panjang mah, ya nasib yang baca :D.

Sebagai bekgron, Rachma memutuskan mengambil PhD selain karena dapat tawaran, juga karena belum kebayang kerja di mana. Maklum, Rachma termasuk orang yang amat sangat tidak suka sekali disuruh-suruh orang. Jadi kerja -misal- di perusahan yang ada bosnya gitu is a BIG NO NO for me.

Bayangan Rachma tentang PhD itu ya selayaknya orang ngerjain riset pas master. Di awal PhD Rachma semangat tinggi pengen ngerjain ini itu, pengen hasilnya berguna untuk ini itu, de es be. Pokoknya semangat empat lima lah. Tapi tentu saja, kenyataan bercerita lain. Kalau menurut seorang profesor, PhD itu bagaikan proses menikah. Di awal sang cowok menjanjikan banyak hal, tapi seiring berjalannya waktu janji pun tinggal janji :D. Makanya Rachma gak percaya ama janji-janji, baru Rachma acknowledge kalo udah real. Kalo belum mah, ya kaya angin lalu aja, baru medan kata-kata, belum kongkrit :P.

Anyway, bekerja dengan riset pada prakteknya lebih sering gagalnya dibanding berhasilnya. Tentu saja, tiap hari gagal itu tidak baik untuk perkembangan psikologi. Karena hasilnya Rachma mengalami fase di mana Rachma mempertanyakan kapabilitas diri untuk mengerjakan sesuatu. Belum lagi ada hal-hal lain yang sifatnya personal, riweh suriweuh we lah pokoknya.

Dalam hal liburan, awalnya Rachma berniat pulang ke Indo dua tahun sekali. Alasan: ngirit tiket dooong. Tapi, tampaknya dua tahun sekali pulang ke rumah itu bukan pilihan yang sehat. Bertemu dengan keluarga setidaknya setahun sekali deh... buat merecharge rohani. Tepatnya kalo yang Rachma alami itu salah satunya untuk memvalidasi: I am loved.

Ketika hidup sedang berada di titik terbawah, ada filter yang sadar atau tidak sadar muncul di pikiran: siapa yang beneran teman dan siapa yang cuman kenalan. Tentunya, hidup di luar negeri bukan hidup fase nyaman untuk memutuskan atau memilih lingkungan yang baik. Banyak kalanya harus berhadapan dengan kenyataan bahwa kita dikelilingi oleh orang-orang yang lebih banyak membuat kita tidak nyaman.

Dua tahun pertama PhD kurang lebih bisa dianggap masa pancaroba. Banyak hal terjadi, banyak pula paradigma hidup Rachma yang berubah. Rachma yang biasanya berhati riang, hangat, dan terbuka (I mean, really, literally) berubah menjadi dingin dan pilih-pilih. Perubahan itu kalau Rachma terjemahkan adalah bentuk survival. Untuk mengurangi emosi negatif, salah satunya adalah memutuskan untuk tidak merasakan emosi dalam bentuk apa pun. It was indeed a sad choice. Kalau bisa Rachma memilih, tentunya Rachma akan memilih berhati hangat dan penyayang. Namun realita kadang membentuk pribadi yang Rachma pun tidak punya kuasa untuk mengubah, setidaknya saat itu. Sekarang, di kala sewaktu-waktu Rachma mengingat masa-masa itu, I would pretty much hug my self just to make sure that I would be doing just fine, that I did a great job in overcoming those days.

Saat paradigma hidup Rachma berubah, Rachma mulai mengkategorikan orang: temen deket, temen kurang deket, temen yang kerjaannya nyusahin, temen yang kerjaannya ngejek, kenalan lama, orang asing, dan tingkatan aneh: orang-orang yang tidak Rachma suka. Rachma sebut aneh karena tidak menyukai orang lain bisa dibilang BIG NO NO dalam kamus hidup Rachma. Rachma, dulu, selalu berusaha menyukai orang-orang, mau yang kenalan baru, lama, yang unik dan yang jauh sekalipun. Namun, berhubung tinggal di Belanda lumayan lama , yang mana orang-orangnya mengutamakan "brutal honesty" nya, saying no menjadi sesuatu yang lumrah karena penduduknya pun menghargai pilihan personal dan tidak menganggap hal itu sebagai tindakan ofensif. Satu karakter pun terbentuk: I say no to what I don't like, I say no to what I disagree. Beda banget dengan jaman dahulu kala yang mana banyak hal dipertimbangkan demi alasan takut menyakiti hati orang lain. Di sini, level penghargaan orangnya jadi beda-beda. Kalo Rachma menilai dirimu termasuk orang yang gak tau diri, Rachma jadinya bisa sangat apatis, bahkan hostile dan galak. Kalo dulu masih gimana gitu, Rachma menghormati orang gak pilih-pilih, yang gak tau diri pun Rachma hormati. Sekarang tuh kayanya kelintasnya: "orang gak tau diri kok pengen dihormati, cape deeeh". Begitulah, what a life ya... sampe kelintas kaya gitu di kepala Rachma.

Saat itu juga ada fase di mana Rachma sangat tidak menyukai interaksi sosial dengan orang-orang. Di sisi lain, ada ketakutan berlebih bahwa setiap orang berpotensi menyakiti hati Rachma. Akibatnya, banyak hal yang Rachma jadikan tameng untuk melindungi diri, atau bahkan keputusan untuk sekedar tidak berinteraksi dan berlari dari kenyataan. Di saat-saat itu, kalo Rachma pengen nangis, suka diem lama di kamar mandi, ampe nangisnya puas. Atau pulang cepet ke housing, terus nangis ampe ketiduran. I pretty much did not like people. They were just...you know...selfish. Alhasil, metode pilih-pilih temen itu jadi dominan. Lucunya suka adaaa aja ya yang dikasih hati minta jantung. Ah, I did hate interacting with people on that time.

Inspirasi kehidupan banyak muncul dari hal-hal yang tidak di sangka-sangka. Salah satunya: drama (I seriously mean it). Drama yang baik banyak yang di dalamnya ngasi dialog bermakna, di antaranya yang menyangkut kehidupan: bahwa hidup adalah anugrah. Saat itu kan ceritanya Rachma berada dalam fase di mana hidup terasa berat, sangat tidak nyaman, sangat tidak mengenakan. Sebagai orang yang beragama, tentunya menyia-nyiakan kehidupan adalah tindakan yang tidak disukai Allah. Tentu saja, ada keinginan untuk berubah. Namun...Rachma pun seperti kehilangan jati diri. Yang biasanya terlatih menyemangati diri sendiri, saat itu untuk melalui hari saja terasa enggan. Sangat enggan.

Di tahun ketiga Rachma memutuskan untuk mengambil course, biar bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang. Bersosialisasi selayaknya orang yang hidup. Saat itu, banyak hal yang sifatnya manusiawi dan fitrah terasa jadi sangat istimewa. Berdiskusi dengan banyak orang, atau bahkan hal kecil seperti menyapa selamat pagi dan menanyakan kabar terasa sangat berharga. Saat itu, Rachma menyimpulkan betapa tidak sehatnya fase yang Rachma jalani sebelumnya... sampai hal-hal simpel seperti itu terasa sangat spesial. Di sini, banyak catatan kehidupan yang Rachma jadikan pelajaran. Dan lagi-lagi, banyak hal yang Rachma kategorikan dalam kelompok hal/orang yang tidak Rachma suka. Riset di tahun ke-3 pun berjalan so-so. Kayanya saat itu Rachma sudah terbiasa dengan kegagalan. Di sini mulai timbulah karakter dominan: ignorance. Level tinggi.

Saat Rachma pulang ke rumah di akhir tahun ke-3, ada hal lain yang cukup membuat Rachma terhenyak: rapor, ijazah, dan transkrip. Bahkan ada perasaan "tidak kenal" dengan nama yang tertera di dokumen-dokumen itu. Terlalu wah, bahkan terkesan unreachable. Rachma sampai harus melamun panjang, untuk mengingat-ngingat kembali sejarah diri Rachma sendiri. Bahkan Rachma bertanya pada diri Rachma versi masa lalu: bagaimana dirimu bisa mengumpulkan achievement sebanyak itu?

Tentunya ada hal menarik yang Rachma rasakan saat itu. Rasa sayang, rasa segan, dan rasa iri yang Rachma rasakan terhadap versi Rachma di masa lalu. Di sanalah Rachma mulai memahami dan mulai mengurai benang dari kisah-kisah yang membuat Rachma stagnan. Saat itu Rachma menyelami rasa segan yang orang-orang rasakan ketika berinteraksi dengan Rachma. Pun, Rachma memahami rasa iri yang dilontarkan seorang dua orang sampai berujung pada hinaan dan makian terhadap diri Rachma. Juga, Rachma merasakan rasa sayang yang diperlihatkan orang-orang terdekat Rachma. Jadilah saat itu Rachma memutuskan untuk belajar setapak demi setapak untuk menyayangi diri sendiri dan membenahi sedikit demi sedikit apa pun yang harus dibenahi, dengan tidak menyesali apa pun yang telah terjadi. Dengan harapan Rachma bisa menemukan kembali jati diri yang sempat terlupakan.

Hidup tentu saja tidak selalu mudah. Selalu saja ada bagian kisah yang membuat Rachma tidak nyaman. Riset berjalan gitu-gitu aja. Bedanya, saat itu Rachma bertekad untuk maju, menjalani hidup, terlepas kisahnya baik atau kurang baik. Dulu saat membaca pepatah "kalo berusaha keras pasti ada jalan keluarnya"... hmm... tampaknya ini harus dikoreksi :D. Setidaknya setelah bergaul lama dengan riset ini ada hal-hal yang memang udah nasibnya gak ada jalan keluarnya, hahah :P. Di sinilah letak powerfulnya kata "MOVE ON". Bukan bekerja kerasnya yang harus ditekankan, melainkan pikiran jernih dan kerja efektif. Masalah efisiensi, yah tidak semua bisa efisien, tapi setidaknya kita sudah berusaha menjalankan hidup dengan kepala jernih. Di sini lah Rachma mulai membiasakan diri menyebutkan "mantra". Fake it till make it.

Yang Rachma lakukan, di setiap pagi ketika bersiap-siap beraktivitas ... Rachma memaksakan diri tersenyum. Lebih tepatnya melatih diri untuk tersenyum manis ;). Ntah kapan terakhir senyum karena beneran bahagia, bukan senyum karena "to be polite". Plus, di dalam hati selalu menyapa: "Hello, lucky girl!". Mantra ini awalnya terkesan penuh kepalsuan, tapi lama-lama Rachma beneran percaya: I am very lucky. Bahkan hal-hal kecil pun bisa bikin Rachma senang riang gembira dan sering senyum, hehehe.

Sebagai tambahan, Rachma mengubah style berpakaian. Memilih mematchingkan warna-warna cerah, terus hunting wardrobe lucu-lucu yang... ehm... mahal :P. Kalau dikalkulasikan, uang yang Rachma keluarkan buat meng-update wardrobe itu bisa buat beli tanah baru. Ah, but who cares. Gak guna juga Rachma punya tanah banyak kalau psikologinya gak sehat gitu :P. You know, the money that I enjoyed wasting was not called wasted money. 

Ntah cuman pembenaran atau gimana, wardrobe lucu-lucu itu berhasil memperbaiki mood Rachma. I feel good about my self. I feel appreciated. Jadi lebih semangat menjalani hari juga. Tiap ngaca dicermin, ada tambahan mantranya: "Hello, pretty girl!". Haha :P. And it works well, I feel pretty. Hihihihi :P. It works like magic too, I am becoming more happy.
Mantra lain yang Rachma ucapkan yaitu ketika menghadapi suatu masalah Rachma selalu berkata dalam hati: "in the end, everything is gonna be fine, everything is gonna be alright". And well, mungkin dengan seringnya memantrakan itu bebannya serasa berkurang, Rachma nya lebih relax, dan jadi lebih efektif juga kerjanya. Tentunya selalu saja ada problem muncul di luar kendali, namun ketika kitanya happy, legowo, sabar, insya Allah ada jalan keluarnya.

Mantra lain... hmm... bukan mantra sih sebenernya, tapi Rachma ngelist apa-apa yang Rachma punya. Yang gak penting pun dimasukkin. Alhasil, banyaaaaaaaaaak banget hal-hal yang ada di sekitar Rachma yang membuat hidup terasa lebih bermakna dan membuat Rachma bahagia. Di sini, munculah suatu pengingat: "syukuri apa pun yang bisa disyukuri" ;).

Rachma sadar bahwa garis kehidupan tiap orang beda-beda, rezekinya beda-beda, standar bahagianya beda-beda. Namun, apabila kita sedang berada pada fase stagnan, sedang merasa sedih, merasa disakiti, merasa didholimi, atau merasa kurang beruntung... ingatlah bahwa kita gak sendirian, orang lain pun pernah mengalami masa-masa sulit, bahkan mungkin dengan kesulitan yang lebih rumit. Mengubah sesuatu tidaklah mudah. Tapi kalau dikerjakan satu demi satu, sedikit demi sedikit, lama-lama jadi bukit juga ;). Mulailah dengan mencintai diri sendiri, melakukan hal-hal yang disenangi, dan tidak usah terlalu mendengarkan ocehan orang lain yang kurang mengenakan. Karena pada akhirnya, omongan orang tinggalah omongan, ada saatnya garis hidup kita tidak lagi bersinggungan dengan mereka. Lupakan yang telah lalu, dan majulah walau setapak demi setapak untuk menjalani masa depan. Ingat juga, selalu ada orang-orang yang menyayangi kita dengan tulus. Yang pada akhirnya kita merasa bahwa garis nasib yang disiapkan oleh Allah adalah hadiah paling indah dalam kehidupan ini. Mudah-mudahan di tahun yang akan datang kita semua lebih bijak, lebih tentram, dan lebih bahagia. 

Alhamdulillah ya, sesuatu banget tulisan ini :D.
Mari-mari, Rachma tidur dulu.

Tuesday, 13 December 2011

Shopping

Yay shopping....

---Dari Snapstore

1. Samsonite Hommage Club
319 Euro jadi 169 Euro

Rachma udah lama banget nyari koper kabin Samsonite yang lagi diskon. Berhubung diskonnya di toko biasanya dikit, jadinya nunggu sale dari private store. Akhirnya nemu juga, senangnyaaaa....


2. Samsonite Freelifer
75 Euro jadi 29 Euro

Hmm... Beli karena lagi diskon aja :D.


---Dari theoutnet

Pas pagi-pagi baru bangun, kepala pening, mata kesat karena kebanyakan mantengin komputer, pikiran puyeng karena mikirin thesis... Eh, tiba-tiba liat web terus ada diskon 85%. Udah deh, ngeklik-ngeklik :D

1. Alexander McQueen
1189 Euro  jadi 178.4 Euro

Sebetulnya pas liatnya itu Rachma mikir.. kok bisa ya tasnya seharga hampir 1200 euro. Karena pengen tau kualitasnya, jadi beli deh :D.



2. Foley+Corinna
489 Euro jadi 73.4 Euro

Kalo diliat-liat koleksi tas item yang cuman item doang itu belum punya yang model satchel kaya di bawah ini. Pas udah order, Rachma baru ngeh kalo talinya itu ternyata gak cuman tali aja tapi ada logam penghubungnya. Jadi Rachma mikir, wah tasnya ternyata jiwa muda banget, bukan tas klasik. Alamat nyari tas item lagi deh. Nasib belanja baru bangun tidur, hehehe.


3. Rupert Sanderson
468.7 Euro jadi 70.3 Euro

Salah satu brand sepatu yang Rachma suka :D.


Yah beginilah, wardrobe Rachma emang modal diskonan, hehehe.

Bagi yang skeptis dengan harganya, hmm... pembelaan Rachma adalah ... "mengeluarkan uang itu tidak seberapa dibanding dengan cenat cenutnya kepala mikirin PhD".

Hmmm
pembelaan yang dilebih-lebihkan, heheh :P.

Soalnya pas udah belanjanya, baru mikir lagi... eh mulai bulan depan kan gajiannya di akhir bulan ya, huhuhu,,,, kebiasaan dapet uang di awal bulan....

Tapi ya itu, cenat cenut PhD nya sebetulnya terhibur pas liat digit gaji postdoc, hehehehe.. Jadi, kalo ada kesempatan... ber-PhD lah sodara-sodara.... demi meningkatkan kualitas WNI cenah ;).

Sekian reportase belanja kali ini.

Rachma tidur dulu.
Mari-mari..

Sunday, 4 December 2011

The perceived value

It is December..
Hmmm
December.

In less than a month it will be a new year.
Hmmm
A new year.

That means, next year I will be 27. Twenty seven... Hmm... I guess I am getting old. I presume getting old means getting wiser, at least a step wiser than the previous year. Don't you agree?

Here in Europe, being 27 means you are not getting any subsidy on travel cost. That is, you are regarded as a mature person who already has a good job and does not need the government to support your living cost, in some particular case of course. So, being 26 means I still have that luxury perceived value to take advantage of whatever it is designed for "young generations". But apparently, even now... I just feel that my life gets stuck for some reasons. And I don't like the vibe I am feeling when I think about the age transition. It's just... I don't know... I am not too excited about it.

Generally speaking, people should be able to create his/her own perceived value. To make themselves presentable, so to say. Judging from my history, it seems that the perceived value of a person was imprinted long long time ago, even before the person recognizes it.

Can the value fool someone?
Of course.

Back in the old days, I always think that being kind means you have to be nice to a person every time, anywhere, conscious and unconsciously. Now, when I get older, facing some good and bad days, get a little naughtier, I find out that sometimes, in order to be as effective as it is, I just need to make people perceive a kindness when we interact directly. The rest is just a mind set and a vibe branding. I also find that branding my self as a nice person is not always a good idea, because..you know...there are just some people out there who feel insecure just because someone else seems to be "nicer". And sometimes it can get complicated too for unreasonable matters.

Do you need to adjust your perceived value?
Well, why would you?

When I feel someone intrudes my peaceful life, I tend to label the person as an "intruder". A person in which I pretty much do not pay attention to, and I could not careless about his/her life. I feel obligated to be nice to such person when I interact directly, but generally do not care too much in a daily basis. Vice versa, I also do not demand such person to take care of me. I pretty much appreciate if such person do not involve too often in the history of my life.

I used to try hard to adjust back then, but currently when I find that someone does not fit in the rhythm of my life, I simply label the person as an "outsider". I choose to be rather selfish to not complicate my life, and walk forward as my life has to go on.

Should you improve your perceived value?
Apparently yes.

When people think that you are somewhat on a lower level, you can get ditched easily. Well, at least that what I have learned. Of course there are also some people who do not have time to look on the mirror and just treat everyone else in a very rude way. At first, I thought this person must have something special to have such high confidence and treat others impolitely. But after some times, I found out that for some reasons you don't need to really have something in order to make people think you have something. Apparently, being shameless and ignorant are probably some skills needed to polish a perceived value of a person.

So, how high do you perceive your own value?

Hmm... You might even find it as a strange question. As a matter of fact, sometimes I also feel frightened to think how much I have changed in perceiving the world, people, and everything in between. I do not know that getting old means dealing with some more complicated things. Often times I feel really tired of living and have no idea what to do. Maybe that is just me. Or maybe... I just need to take some days off to have fun.

Popular Posts