Tampak ruangan itu telah penuh berisikan staff-staff penting. Via pun mengambil tempat duduk dekat jendela, Melati mengikutinya dan duduk di samping Via. meja coklat berbentuk ellipse itu kini telah lengkap terisi, kecuali satu kursi ujung, dekat dengan kursi sang GM.
"Vi, tidakkah kau merasa meeting kali ini terlalu resmi?", Melati berbisik pada Via. Via hanya mengangguk karena dari ujung pintu terlihat sang GM masuk bersama seorang laki-laki berjas abu-abu. Untuk sepersekian detik, Via beradu pandang dengan laki-laki itu, namun secepatnya ia membuang muka, berpura-pura sibuk dengan berkas-berkas di hadapannya.
Laki-laki itu tersenyum, dan berjalan menuju tempat duduk yang telah disediakan untuknya, untuk kemudian membungkukkan badan di depan para peserta rapat hari itu. Pak Regar, sang GM memperkenalkan, "selamat pagi sodara-sodara sekalian. Kali ini kita kedatangan tamu penting. Beliau adalah Pak Andi, direktur anak perusahaan kita cabang Solo. Kali ini beliau akan membantu kita mendapatkan tender kerjasama bersama perusahaan Jepang...."
dan Pak Regar pun masih berceramah panjang memperkenalkan orang itu, sampai akhirnya dia mempersilahkan Andi mempresentasikan strategi yang dibawanya. Via menyimak presentasi itu dengan seksama, namun bukan materi yang menjadi titik fokusnya, melainkan sebuah pena yang terselip di saku jas presenter itu.
Jadwal coffee break pun tiba, Via membereskan agendanya yang nyaris kosong tak mencatat apapun dari rapat kali ini. Melati tertawa melihat itu, "Vi, tumben gak nyatet?". Via menoleh tersenyum, "Via laper banget Mel, gak ada energi buat nyatet. Ada juga pengen cepet-cepet coffe time". Via tertawa dan keluar dari ruangan itu. Melati mengikutinya dari belakang, "apa yang kamu tunggu di acara minum kopi Vi? kan kamu gak suka minum kopi..."
Via berhenti sebentar, "Mel, tidak ada acara rapat lagi kan? Kita pergi buat long trip nya kapan sih?". Melati mengerutkan dahi, "jam lima sore. Kenapa Vi, tampak buru-buru, ada yang ketinggalan?". Via tersenyum, "nggak Mel, cuman mau ngecek sesuatu, terus ada barang yang mau Via beli. Jadi Via kayaknya ntar jam makan siang Via mau ke mall dulu".
"Owh... mau ditemani?", Melati bertanya. "Nggak usah Mel, ntar aja kalo perlu bantuan darurat milih barang, baru Via telpon", ujar Via sambil tertawa. Tawanya terhenti ketika Andi lewat di hadapan mereka. Mata Via tertuju masih pada pena itu.
"Selamat pagi... ", sapa Andi. "Selamat pagi, Pak", ujar Melati dan Via hampir berbarengan. "Pak Regar bilang bahwa untuk tender kali ini Jakarta akan diwakili oleh Anda berdua, betul?", Andi bertanya. Via bengong, "sejak kapan dirinya ditunjuk buat jadi wakil tender?". "Iya betul Pak, asalnya tender ini akan diwakili oleh Pak Agung dari marketing, kebetulan beliau berhalangan, jadi kami dari bagian produksi yang akan menggantikannya", ucap Melati dengan lantang. Via merengut, "kok Memel gak bilang apa-apa yah?"
"Kalau begitu, semoga sukses tendernya. Saya di sini cuma sebagai konsultan saja, yang menentukan keberhasilan tender kita kali ini, ya... Anda berdua ini...", ucap Andi sambil tersenyum. "Kami akan berusaha sebaik mungkin, Pak", Via pun akhirnya berucap, ingin mengakhiri percakapan itu. Andi pun mengangguk, kemudian meninggalkan mereka berdua. Pikirannya kini dipenuhi tanya, "apakah benar ...perempuan yang barusan ia temui adalah perempuan yang selama ini diceritakan salah satu sahabatnya?". Andi mengingat percakapan di telpon tadi pagi, teman karibnya, lebih tepatnya juniornya pada saat kuliah itu bilang, "Pakailah pena yang telah kupaketkan kemarin, seharusnya sudah sampai di rumah Mas Andi hari ini. Aku ingin tau reaksinya."
Andi hanya melihat seraut wajah polos yang tentunya tak berhak ia pandang lama-lama. " Apa yang sebenarnya dia cari?", bisiknya dalam hati.
***
Via pun mengamati Andi dari jauh, kemudian berbalik mencari Melati. "Mel, kok bisa sih bagian produksi ngurusin tender?"
Melati tertawa, "Iya honey, lupa ngasi tau. Jadi semalem itu, setelah aku nelpon kamu, Pak Agung bilang kalau dia gak bisa ikut ke luar kota. Istrinya melahirkan. Lagian boss Regar juga lebih senang kalau tender kali ini kamu yang pegang."
"Heee, Via kan gak tau ini tender apa? Ah, Memel nih....", Via menggerutu. Melati tertawa lagi, sambil mengaduk kopi susu yang dipegangnya, ia berkata, "Vi, sebenernya aku juga bingung, soalnya... Pak Regar bilang, kalo klien kali ini menyebutkan nama staff yang harus mewakili tendernya. Ya nama kamu itu yang disebut....", Melati berhenti sejenak, kemudian menghabiskan kopinya. "Ikut aku Vi", ujar melati. Via tambah bingung, kemudian dia pun mengikuti Melati, menuju ruang kerja mereka. Melati menghampiri meja kerjanya dan mengambil sebuah bingkisan. "Kemarin sebetulnya ada paket khusus dialamatkan padamu, Vi. Tapi karena kamarin kamu terlalu semangat pulang ke rumah untuk mengecek grafier bulananmu itu. Jadi kusimpan dulu di meja kerjaku. Ini, bukalah", ujar Melati sambil memberikan bingkisan itu pada Via. Tangan Via bergetar menerima bingkisan berwarna biru itu, dan sejenak hatinya menebak... ada sepasang sepatu dalam bingkisan itu, mirip dengan mimpinya semalam.
Melati mengamati perubahan wajah Via, "Vi... kalau ini ada hubungannya dengan pengirim paket itu, apa tidak sebaiknya kau lupakan saja?", ujar Melati sambil memegang lengan Via yang kini tampak lebih bergetar. Via terdiam, namun sesungging senyum kembali menghiasi wajahnya dan Melati pun tersenyum, "it seems you can face it well...". Dan mereka pun tertawa. "Ayo Vi, buka kadonya, aku pengen tau", ucap Melati terlihat sangat penasaran. Via tertawa, "jadi sekarang Memel yang lebih penasaran nih?". "Ya,,,sapa juga yang gak bakal penasaran Vi... cayangku gak pernah tuh ngasi kado-kado....", ucap Melati sambil membantu Via membuka lipatan pelapis bingkisan itu. "Hmm... itu karena Memel selalu mengambil kadonya secara tunai...", ujar Via sambil tertawa. Mereka pun asik membuka bingkisan itu, "tidakkah kau pikir orang yang membungkus kado ini kurang kerjaan Vi? ngapain coba ya, ini dibungkusnya pake lapis tipis beginian..." gerutu Melati. Via hanya tertawa.
Dari sudut ruangan, terlihat seorang laki-laki berkaca mata hitam mengamati mereka berdua, ada senyum menghiasi bibirnya. "Long time no see, Via. Glad to have found you".
"Ah, apa kabar Pak? Maaf membuat Anda menunggu, ruang Pak Regar ada di sebelah sini", seorang staff perusahaan menegurnya. "Tidak apa-apa Pak, saya baru menunggu sebentar, tadi saya kesasar mencari ruangan beliau...", ucapnya ramah pada karyawan itu. "Ooo, iya, gedung ini memang terlalu besar, Pak, dulu saya waktu pertama kerja di sini, masih harus menghapal letak ruangan...", mereka berdua tertawa. Setelah sampai di depan ruangan Pak Regar, karyawan itu pun pamit. Seorang sekretaris mengonfirmasi namanya. Ia pun tersenyum dan mengangguk. "Bapak sudah menunggu dari tadi Pak, Anda dipersilahkan masuk", ujar sekretaris itu. "Terima kasih", ucapnya sambil kemudian menuju ruangan Pak Regar. Orang tua itu tersenyum, dan menghampirinya hendak memeluk, "apa kabar, Andre? Bagaimana kabar Jepang, betah tinggal di sana?", tanya Pak Regar.
Andre tersenyum, telah lama ia tak mendengar orang lain menyapa nama aslinya itu. "Jepang negara yang indah, Pak. Tapi saya kira... masih lebih indah Indonesia.", ucapnya sambil tersenyum. Pak Regar tertawa, "ooo, tentu, selain alamnya indah, gadis-gadisnya juga cantik-cantik. piye toh?". Andre tersenyum. "Atau mungkin kau sudah menemukan calon istri asal Jepang? biar anaknya sipit dan pucat kayak boneka Jepang?", Pak Regar tertawa lagi. Andi ikut tertawa, "tidak Pak, saya kira, masih lebih cantik produk dalam negeri.", ujarnya sambil tersenyum. Pak Regar pun ikut tersenyum, "Hmm... kau tak banyak berubah, Nak... Masih saja seperti dulu. Bapak kira kau sudah terbawa arus Jepang sana...", Pak Regar tersenyum kemudian mengambil secangkir kopi yang ada di depannya. "Minum kopi?", tanyanya pada Andre. "Tidak Pak, terima kasih.", ucap Andre. "Tapi sebetulnya Bapak masih penasaran, kenapa kamu merekomendasikan Via yang mewakili tender kali ini? Biasanya Bapak menempatkan dia di tender negara-negara US, karena latar pendidikan ekonominya dari sana...", ucap Pak Regar yang kemudian menyeruput kopinya. "Atau barangkali kamu lebih tau background bisnisnya cocok untuk kultur Jepang?", tanya Pak Regar lagi. Andre tersenyum, "saya merekomendasikannya justru dari laporan kepegawaian perusahaan Bapak. Saya nilai bahwa dia cocok untuk mewakili tender kali ini. Lagipula, produk yang akan ditenderkan ini adalah produk untuk perempuan, jadi saya pikir staff perempuan akan lebih cocok", ucap Andre. Pak Regar tersenyum, " kau menyukai gadis itu, Andre?". Andre yang sedang menunduk mengambil kopi di depannya, sejenak berhenti dan mengangkat wajahnya memandang Pak Regar. Pak Regar tiba-tiba tertawa, "kalau benar kau menyukainya, kau sungguh akan menjadi daftar laki-laki yang patah hati". Andre terbatuk-batuk, "maksud Bapak?", tanya Andre sedikit kaget. Pak Regar mendeham, "Bapak sering mendengar anak-anak bersenda gurau tentang hal itu. Andre, apa di tempat kuliahmu dulu ada sistem melamar anak gadis dengan menyerahkan CV?, tanya Pak Regar tiba-tiba. Kini giliran Andre yang tertawa, "seperti saya harus menyerahkan CV saya jika ingin melamar perusahaan Bapak?". Dan mereka berdua pun tertawa, larut dalam berbagai pembicaraan seputar bisnis, politik, bahkan sampai acara TV macam acaranya Tukul. Andre menjadi pendengar yang baik, dia seolah mengenang kembali negerinya yang telah lama dia rindukan.
Ketika jam dinding menunjukkan pukul 3 sore, Andre pun berpamitan pada Pak Regar. Ia bergegas menuju tempat sholat di lantai dasar, menghabiskan waktunya merenung di sana. Ia mengingat-ngingat proses kepulangannya ke Indonesia kali ini. Andre hanya punya waktu dua minggu cuti dari pekerjaannya. Perannya yang penting di perusahaan tempat ia bekerja, membuatnya gamang meninggalkan Jepang. Telah setahun lalu ia mencari alasan untuk pulang ke Indonesia, hingga tibalah perusahaannya merintis kerjasama dengan perusahaan Pak Regar, salah seorang kenalan ayahnya. Tender kali ini diwakili Tuan Akiyama, Andre hanya berperan sebagai pemantau. Semenjak kepulangannya dari Jepang kemarin, dia bahkan belum pulang ke rumah orang tuanya di Bandung. Yang ia lakukan adalah menelpon Pak Diman, supirnya, untuk menjemputnya di bandara Jakarta. Kerinduannya akan orangtua dan sanak saudara, terbentur pada kerinduannya pada sosok seorang perempuan.
Jam tangannya menunjukkan pukul 16.45, Andre pun menuju gerbang utama kantor itu, duduk di lobby. Ia menunggu rombongan perusahaan yang akan pergi ke Lembang jam 5 sore. Dan seperti dugaannya, beberapa staff sedang berkumpul di depan gedung itu. Masing-masing membawa koper. Ada dua mobil Audi yang parkir di depan gedung dan menampung barang-barang mereka. Andre berjalan gontai menuju pintu utama, berdiri sembari menunggu sopirnya datang. Andre mengamati rombongan itu dari balik kaca mata hitamnya. "Ia tidak ada", bisiknya dalam hati. Ia pun berbalik hendak kembali ke ruang lobby, namun tiba-tiba...
brukk, benda keras menubruk kakinya. Seorang perempuan terjatuh, dan sebuah koper tergeletak di dekatnya. Ia menyodorkan tangan hendak memberi bantuan, namun perempuan itu tak menyambutnya. Ia bergegas berdiri dan membungkukkan badan meminta maaf, "maaf Pak, saya tidak sengaja". Andre melepas kaca matanya dan tersenyum, "baik-baik saja? ada yang bisa saya bantu?", ucapnya. Perempuan itu hanya tersenyum, "tidak Pak, terima kasih, saya baik-baik saja", ucapnya, sungguh berlawanan dengan wajahnya yang terlihat pucat pasi karena lelah. Seorang perempuan lain membantunya dan mengucapkan terima kasih pada Andre, mereka memasuki salah satu mobil Audi itu. "Kamu gak apa-apa Vi?", ucap salah satunya. " Nggak Mel. Aduh... ini hak sepatunya ketinggian, jadi aja tadi Via susah bawa kopernya, abis tangga pintunya nyusahin gitu...." dan dialog di antara mereka masih dapat Andre dengar hingga kedua mobil Audi itu melaju meninggalkan gedung itu.
Andre tersenyum dalam hati. Kerinduannya kini terobati. Dilihatnya kembali foto berukuran 3R yang selama ini selalu menemaninya. Foto seorang gadis sedang tersenyum, mengenakan jilbab berwarna merah maroon, berlatarkan langit biru dan ombak putih pantai Ancol. Telah lama ia ingin bertemu langsung, ingin melihat dekat, ingin mengetahui jelas... wujud nyata seorang perempuan, yang tiga tahun lalu nyaris akan menjadi istrinya, Sylvia Ratina.
Ia pun menarik nafas dalam-dalam, dirasakannya udara sore Jakarta lebih segar dari biasanya. Tak lama kemudian Pak Diman pun datang, ia pun menuju mobil mercedeznya, melaju ke Bandung, kota kelahirannya. "Lagi seneng ya Pak?", tanya Pak Diman saat mobil itu sudah berada di tol Cipularang. "Iya nih Pak, saya sudah kangen sama orang-orang di rumah", ucap Andre sumringah. Pak Diman tersenyum melihat tuan mudanya terlihat ceria. "Jangan lupa nanti mampir di pom bensin ya Pak, sambil nyari tempat buat sholat Maghrib dulu", ucap Andre. Pak Diman mengangguk. Mobil itu melaju kencang menuju Bandung. Andre larut dalam lamunannya, memutar balik kenangan tiga tahun lalu.
Sementara di mobil lain, Via merenung, melihat ke arah luar jendela, pemandangan senja kota-kota yang terlewati tol Cipularang. Ia mengingat kejadian tadi, mengingat kembali wajah ramah laki-laki itu... Ada yang menarik perhatian Via, wangi parfum laki-laki itu sama seperti wangi Black XS yang diterimanya kemarin. Namun kembali ia menepis prasangkanya. Ia membayangkan, tentunya banyak sekali orang yang memakai Black XS sebagai parfum sehari-harinya. Ia pun mengingat kejadian di Solo setahun yang lalu, kepalanya terasa pening mengingat itu semua. Ia berusaha mengalihkan perhatian. Kini perhatiannya tertuju pada sepatu baru yang sedang dipakainya, sepatu yang indah, sama seperti sepatu yang dimimpikannya tadi malam. Namun kali ini, tak ada grafier timbul pada sepatu itu. "Ah, banyak sekali kejadian yang terjadi dua hari ini...", ucapnya dalam hati. Lamunannya terus melaju, dan kemudian terbentur pada tender Jepangnya kali ini. Jepang, betapa dia membenci kata itu. Kata yang mengingatkannya pada kisah tiga tahun lalu, pernikahan. Kata yang seharusnya meninggalkan image indah di benak. Namun kisah telah terlanjur menoreh luka di hati rapuhnya.
Dilihatnya Melati telah tertidur. Hatinya mengeluh, perjalanan dua setengah jam menuju Bandung terasa sangat lama. Terlalu banyak kenangan yang ada di kota kembang itu. Dan tak terasa air matanya menetes saat ia mengingat sebaris kalimat yang terbaca di surat tadi pagi, 'Via, maukah kau ikut ke Jepang bersamaku?'. Via menghapus air matanya. Jepang... hatinya bergemuruh kala mengingat kata itu, nama negara yang mengingatkannya pada satu nama, Andre Jayadiningrat.
Bersambung