Tuesday, 24 April 2007

Grafier (part 2)

Mobil itu berhenti di depan sebuah rumah megah. Dia pun menarik nafas dalam-dalam dan bergegas menuju pintu. Didapatinya kedua orang tuanya bersama Pak Budiman, Bu Rini, dan seorang gadis cantik. Mirna nama gadis itu. Seorang perempuan yang akan menjadi istrinya. Dipandanginya sejenak sosok Mirna. Wajahnya yang putih, halus bak pualam. Alis yang hitam, tipis bak semut berjejer. Hidung bangir yang menguncup, menghias indah wajah ovalnya. Bibir manis merah merekah, tersketsa indah bersama jilbab hitamnya. Gadis itu melirik malu-malu dan tersenyum tersipu. Dia pun membalas senyum itu. Mensyukuri pemberian Ilahi, bahwa dia akan menikahi gadis secantik itu. Acara pertunangan pun berjalan khidmat dan lancar, diselingi guyonan khas keluarga yang telah akrab sejak lama.

Menjelang malam, ia pun menyempatkan diri berbicara dengan Mirna di ruang tamu."Mir, aku gak bisa melangsungkan resepsi mewah dalam waktu dekat ini. Kau tau kan, aku harus pulang pergi Canada selama tiga bulan ke depan." Dia berhenti sejenak, memperhatikan raut wajah Mirna yang mengguratkan kekecewaan walau akhirnya gadis itu tersenyum. "Ya disesuaikan dengan jadwal Mas aja. Mirna tidak keberatan. Nanti Mirna akan bilang sama Ibu dan jelasin semua. Mas gak usah khawatir", ucapnya sambil tersenyum. Gadis itu kemudian mengambil remote TV yang ada di atas meja, menekan tombol power, dan me-remote channel-channel yang ada. Beberapa saat tak ada yang bicara. Sayup-sayup terdengar guyonan orang tua mereka dari ruang sebelah, bersahutan dengan suara TV.

"Mas Andi, Ibu bilang Mas tidak suka menikah dengan orang Jawa. Mas kan tau, ada garis keturunan Jawa dalam diri Mirna". Gadis itu terdiam lagi dan beralih menghadap TV. Andi tertawa, "Kamu menganggap itu serius Mir? Ah, Mas kira kamu tuh lebih faham masalah kayak gini. Hati manusia siapa yang tau... Bisa berubaha kapan saja, ya kan?"
Andi tertawa lagi. "Mahasiswa psikologi kok gak ngeh masalah kayak gini... itu gelar sarjananya dikemanain Mir?". Mirna menoleh padanya dan tertawa manja, "disimpen di ijazah, Mas" ucapnya sambil tersenyum. Andi ikut tersenyum. Kembali dia memperhatikan sosok perempuan yang duduk di sampingnya itu. Dalam hatinya mulai berputar-putar pikiran yang beragam,"dia akan jadi istriku, ibu dari anak-anakku ... apakah aku tidak salah memilih, ya Allah?". Hatinya bergolak. Dia mengakui ... dia jatuh cinta pada gadis di sampingnya itu. Ntah karena dia cantik, supel, atau mungkin karena alasan lain. Orang bilang jatuh cinta tidak perlu alasan bukan? Gadis itu baru dikenalnya lima bulan yang lalu ketika dia menghadiri resepsi pernikahan Apri, sahabatnya. Gadis itu memesonanya, baik itu senyumnya, cara bicaranya, gerak-geriknya... Andi menyukai itu semua. Apri menangkap sinyal-sinyal itu dan dengan gesitnya mencomblangi Andi dan Mirna. Dan jadilah mereka sampai pada rencana pernikahan itu.

"Nikah itu gak bisa rusuh-rusuh Ndi, kamu harus nyiapin segala macem dengan matang. Kemapananmu bahkan tak bisa dijadikan alasan bahwa kau sudah layak menikahi anak orang." ujar Apri sambil menyesap rokok Gudang Garamnya. Andi tersenyum simpul, "umurku sudah semakin tua Pri, beda lah sama kamu, beda generasi kita...". Mereka pun tertawa. "Janganlah kau se-desperate itu Ndi, kau punya banyak hal yang bisa bikin cewek manapun tertarik sama dirimu itu. Pilih-pilih dulu lah kau, cari istri yang baik bibit, bebet, dan bobotnya. Janganlah kau ambil cewek sembarang jadi istrimu."

Andi hanya terdiam mendengarkan sahabatnya berkomentar. Tak lama kemudian Apri bergumam lagi, "engkau ini sekarang lagi puasa Ndi. Kau menunggu waktu berbuka... kau cari makanan terbaik buat berbuka. Makanan yang manis, iya toh? Jangan lah karena engkau tak sabar ingin berbuka, tiba-tiba engkau makan makanan apapun yang disodorin orang. Bah, bagaimana pula itu...."
Andi tertawa, "lha, bukannya kamu Pri, yang ngenalin aku sama Mirna?"
"Itu beda kasus lah... kau ini begimana Ndi. Maksudku, kalopun aku ngenalin kau sama Mirna, bukan berarti juga aku ngejodohin kau sama dia. Macem zaman Siti Nurbaya aja kau, mau dijodohin." Apri mendengus, sambil terus menghisap rokoknya.
"Aku sudah berusaha Pri. Kau tentunya paling tau." Andi terdiam sejenak, "aku tidak mungkin lagi memutar waktu atau mengambil jalan hidup yang lain lagi."
Apri tertawa. Asap rokok bergulung di depan mulutnya. "Kau tau Ndi, menikah itu bukan hanya mengejar deadline umur. Bukan pula buat mengunci mulut orang-orang di sekeliling kau."
"Lalu kamu pengen aku bagaimana Pri? Menunda pernikahan kali ini? atau kembali mencari gadis lain?" ucap Andi sambil menerawang melihat langit malam.
"Tidak, aku cuman pengen... kalau kau sudah menetapkan hatimu sama si Mirna itu... ya janganlah kau memikirkan kemungkinan lain. Kuperhatikan kau itu rusuh Ndi, seolah nikah buru-buru karena kau melihat umurmu. Berapa kau punya umur? 30 toh? umur segitu masih wajar lah buat laki. Jangan kau hiraukan omongan kolegamu yang suka guyon itu."
Apri menasehati Andi panjang lebar. Pikiran Andi telah berkelana jauh... memikirkan setiap kata sahabatnya itu. Dia ... bimbang.

Sesaat setelah bertunangan dengan Mirna, hati Andi masih merasakan suatu kekurangan, yang dia pun tak mengetahui apa yang menjadi kekurangan itu. Mirna adalah gadis yang cantik. Semua mengakui itu. Gadis keturunan Jawa, bahkan sebetulnya ada darah Ausie mengalir dari silsilah neneknya. Wajah eksotis yang Mirna miliki, dipadu dengan kesupelannya sangat cukup untuk menjadi alasan Andi menyukai gadis itu. Dia mengingat-ngingat kembali sunnah Rasul tentang memilih pasangan hidup: agama, harta, rupa, dan keturunan. Mirna memenuhi semua kriteria itu. Namun terkadang, asap sesak membumbung di hatinya, mengusik niat ibadahnya pada Ilahi.

"Mas, sebetulnya Mirna lebih suka tawaran Bapak. Jadi Mirna bisa ikut ke Canada bulan depan", ucap Mirna membuyarkan lamunannya. Andi tersenyum, "Mir, Mas juga mau kamu ikut ke sana. Tapi Ibu bagaimana? Beliau gak ngizinin kamu bepergian dulu kan? Dokter Rina juga tidak akan membolehkanmu naik pesawat. Jadi Mas pikir akan lebih baik kalo pernikahannya ditunda sampai Mas kembali dari Canada. Lagian, Masmu ini gak akan ke mana-mana, gak akan pindah ke lain hati... "
Andi tertawa kecil. Mirna menyahut dengan tawa manjanya, melirik Andi dengan tatapan menggoda. Hati Andi berdesir. Kembali ia mengingatkan dirinya untuk banyak beristighfar pada Yang Kuasa. Kini hatinya tenang sudah, ia yakin... Mirna lah belahan jiwa yang selama ini dia cari.

***
Via bergegas menuju kamarnya. Menghidupkan laptop dan mengklik googletalknya.
Via : Mel... Melatiiiii....
Melati : Apa cinta?
Via : Mel, mode seriusan nih ... :(
Melati : Kapan dirimu tak serius, Nak? :p
Via : :(
Mel, inget gak waktu kita ke Solo?
Melati : Ya, tentu. Waktu ke sana kamu panik abiz, karena dompetmu yang berharga ituh hilang ntah di mana :D
Via : Ah, bukan itunya Mel.... :(
Melati : Lho, kok cemberut?Terus yang mananya? Yang waktu file presentasimu kecebur ke parit, yang baju kesayanganmu kena asap rokoknya Aldo... yang kamera lucumu kebentur tas ranselnya Indra... ato yang mana nih? :D
Via : Yaaaah, Memel... kenapa yang disebut yang naasnya semua?
Melati : Lha, iya kan? sampe gak mau lagi berkunjung ke Solo? :))
Via : Mel... :(
Melati : sorry...sorry. What's wrong, honey?
Via : It's Rei.
Melati : So? kenapa lagi dengan paketnya kali ini? sekali-kali harusnya kamu kasiin ke aku aja Vi. Kan lumayan tuh, dapet barang antik gratisan ... :D
Via : Yeee, Memel gimana sih. Kali ini bukan barang antik.
Melati : Owh... tumben. Emang sekarang dapetnya apa?
Via : Eau De Toilette
Melati : What? Tanggung amat, kok gak parfum sekalian. Merknya apa, Say? CD, Giovani, poison? or what?
Via : Paco Rabanne
Melati : Ya elah,,, XS ya? ngasi EDT kok buat cowok. Eh, emang dia cowok ya, Vi? Eh dia cowok apa cewek sih Vi?
Via : Ya mana Via tauuuuuu >_<
Melati is offline.

"Lho, kok Memel offline sih...", gerutu Via dalam hati. Via menutup screen gtalknya. Memutar kursi, kemudian menyenderkan kepalanya ke dinding kamar. Dinding itu terasa dingin menyentuh wajahnya. Samar-sama Via bahkan dapat mencium wangi cat, berbaur dengan pewangi ruangan yang menggantung dekat jendela. Via menarik nafas dalam-dalam. Diliriknya botol parfum dan surat itu, "bolehkah aku membaca surat itu? bolehkah aku membuka dan mencium wangi parfumnya?". Via menutup matanya sejenak, lalu disentuhnya botol Black XS itu. Setelah menimang-nimang botol itu, Via memutuskan untuk membukanya. Keingintahuannya mengalahkan adat kesopanan orang Timur. Ia pun mengarahkan sprayer parfum itu ke punggung tangannya. Digosoknya sebentar, kemudian didekatkannya tangan itu menuju indra penciumannya. "Wangi", bisiknya dalam hati. Kemudian Via pun tertuju pada surat itu, surat yang masih tergulung manis, diikat seutas benang merah. Ia perlahan membuka simpul benang merah itu dan mulai membaca tulisan di kertas itu.

Manusia menyukai wewangian
Bahkan menuntut apa pun menjadi wangi
Hidung mereka tak berkenan mencium bau yang tak sedap
Mereka mendambakan wewangian

Aku tidak dekat dengan dirimu
Jelas sangatlah jauh
Juga tak mengenalmu
Jelas tak mengenalmu
Tapi aku mengira-ngira...
Kau yang hidup dan menjadi bagian dari mereka
Mendambakan wewangian

Aku ingin menjadi cermin yang indah untukmu
Kau refleksikan, dan aku menerima dengan riang
Tak perlu engkau menjadi wangi
Karena aku berperan sebagai cermin
Bukan sebagai indera pencium

Jika angin bertiup terlalu kencang
Aku ingin menjadi pohon rindangmu
Kau bersandar di batangnya
Berteduh di bawah rindang daunnya
Tanpa harus menjadi wangi
Karena di situ aku adalah pohon
Kau pun tak perlu wangi
Karena di situ aku hanyalah pohon

Dan ketika engkau menjadi bunga
Sungguh aku berharap
Kau pun tak menuntut aku wangi
Karena dirimulah yang akan mewangi dalam hatiku
Biarlah dunia tak tau
Namun izinkanlah aku
Meramumu dalam jiwaku

~ Memoire in Parijs, pour ma fille bien-aimée ~



Via merenung, perlahan hanyut dalam dunia teka-teki yang berjalar di pikirannya. Samar dia pun mulai mengingat, wangi yang sama yang pernah dia hirup di udara Solo satu tahun yang lalu.

Bersambung

*gambar cincin diambil dari web

Monday, 23 April 2007

Grafier (part 1)


Hari itu, langit mendung. Tak ada hujan, hanya warna hitam memulas langit dengan sempurna.
Sepasang mata sendu sedang menatap jalan yang kosong, berbaur dengan sepinya malam yang mencekam. Sesekali sosok itu mendesah, menandakan kekhawatiran yang terlalu berlebihan. Bola matanya mulai berkaca-kaca ketika dia menyadari malam sudah sangat larut. "Dia tidak akan datang", bisiknya dalam hati. Sosok gemulai itu pun mulai menjauhi jendela dan menghampiri sebuah kursi malas yang terletak di sudut kamar.


Sekali lagi dia mendesah. Matanya yang bulat hitam menerawang jauh, ditemani suara detak jam dinding yang menggantung anggun di hadapannya. Ia pun mendekati jam antik itu. Jemarinya menyentuh lembut grafier indah di bagian bawah jam: Rei.
Kembali ia menghela nafas.
Dihampirinya tempat tidur megah yang sudah sejak lama menunggu tuannya melepas lelah. Dia pun tertidur, hembusan nafasnya teratur menandakan kedamaian.
Dia menunggu pagi.


"Viaaaaa, kemana aja Lu? kok gak keliatan mampir ke kantin?" suara Melati memecahkan keheningan ruangan itu. Seorang gadis menoleh ke arah suara tadi sambil tersenyum simpul dan mengacungkan buku berjudul "The Open Source Introduction to Microeconomics". Melati tertawa, melangkah gontai menghampiri temannya itu. "Vi, semalem dia dateng?" Suasana hening, ada kabut kekakuan di antara dua perempuan itu. Bibir Via yang tadinya berhiaskan senyuman, kini berubah datar. Kembali matanya kosong menatap jendela kantor itu. "Dia tidak nyata Mel ..." ucapnya sambil memutar-mutar pensil yang dari tadi dia pegang. Melati terdiam, namun tak lama kemudian tertawa terbahak-bahak. "Kamu tidak akan menganggap peristiwa itu sungguh-sungguh kan? ayolah... tidakkah menurutmu itu hanya buang-buang waktu?"
Via hanya tersenyum, pandangannya beralih pada figura yang terpampang manis di atas mejanya, tak berfoto, hanya berhiaskan grafier: Rei....
Melati hanya mengangkat bahu, "Don't waste your time, my dear....", ucapnya. Matanya mengerling, kemudian berlalu meninggalkan Via yang tampak larut dalam lamunan. Kini Via terdiam dan kembali menatap figura kosong bergrafier indah itu.

Tak terasa hari telah sore. Orang-orang mulai berhamburan keluar kantor. Pulang. Sudah saatnya pulang. Via pun berjalan tergontai menuju lift, menekan tombol menuju lantai dasar. Lampu lift berkedip menandakan lift sedang menuju lantai di mana ia berdiri sekarang. Via sudah tak sabar menunggu pintu lift itu terbuka, ingin segera sampai di rumah, karena hari itu merupakan hari ke-15 dalam sistem penanggalan Masehi. Hatinya berdebar mewakili kepenasaran yang kini menghiasi dirinya, penasaran akan apa yang akan dia temui di kotak pos rumahnya kali ini.

Pintu lift pun terbuka. Tampak olehnya seorang laki-laki mengenakan jas berwarna abu-abu, menenteng sebuah koper kecil mengkilat. Sebagai perempuan yang juga mengamati perkembangan fashion, Via tau bahwa setelan orang di sampingnya itu adalah setelan pakaian borjuis. Hatinya kembali protes, "Berapa banyak anak jalanan yang bisa diberi makan jika jas dan koper itu dikonversi ke dalam rupiah ... ah, dasar orang kaya, terlalu hedon menunjukkan kekayaannya". Batinnya menggerutu, dan ntah mengapa dia merasa kali itu lift turun begitu lambatnya. Laki-laki itu berulang kali melihat jam tangannya, nampak sibuk dengan pikirannya sendiri, dan tentunya tak menyadari jika perempuan yang berada di sampingnya telah mengkritiknya habis-habisan. Pintu lift terbuka di lantai 3, terlihat tiga orang pegawai masuk dan membungkuk di hadapan laki-laki itu. Via menerka-nerka, "Mungkin laki-laki itu adalah boss mereka". Belum sempat ia berasumsi lebih jauh, pintu lift lantai satu terbuka dan Via pun melangkah ke luar lift, terburu-buru menuju pintu utama.

Di belakangnya, laki-laki itu pun menuju pintu yang sama. Dia menatap takjub sosok perempuan yang ada di depannya; siluet bertubuh ramping yang terlindungi balutan blazer berwarna hitam dengan wajah putih mungil yang terhias di balik jilbab putihnya. Sedari tadi dia berada di dalam lift bersama perempuan itu, hatinya telah banyak beristighfar pada Ilahi. Dari sudut matanya dia masih bisa melihat seraut wajah yang terlihat pucat karena lelah. Namun wajah itu menyejukkan hatinya. Sungguh ciptaan Allah Yang Maha Kuasa. Mata bulat sendu yang sempat menatap jauh menusuk hatinya ketika pintu lift lantai 10 terbuka. Tak lupa jeda yang ia alami sampai lift turun ke lantai 3, suatu jeda ketika ia hanya berdua saja dengan perempuan itu. Hatinya menangkap sinyal-sinyal aneh di udara lift yang pengap, mengingatkan dia untuk banyak beristighfar.

Ketika pintu utama itu terbuka, dilihatnya kembali sosok perempuan itu dan dia pun tertegun lama, memperhatikan sosok itu, yang seolah sudah dia kenal sejak lama. Dia berusaha mengingat, berasumsi ... mengira-ngira ....
Suara klakson mobil menghentikannya dari lamunan. Sopir pribadinya telah datang, dia pun segera menuju mobil itu, mengucap salam pada sopirnya dan duduk nyaman di belakang. Hari itu dia akan menemui seseorang...
calon istrinya.

Via mengendarai mobilnya dengan santai, mengikuti alur macet panjang yang melanda kotanya. Apalagi hari itu hari Jum'at, semua orang sepertinya ingin keluar untuk ber-week-end ria, memeriahkan jalanan kota, menambah sesak. Mobilnya merayap mengarungi jalanan, menyambut malam. Beberapa kali mobilnya berhenti cukup lama karena antrian mobil yang terlalu panjang. Ditambah lagi hujan yang turun rintik-rintik, menambah dinginnya malam. Radio yang tadinya sempat menemani sepanjang jalan kini dia matikan. Suasana pun hening, terkecuali suara rintik hujan dan klakson mobil. Via kembali mengembara dalam dunia lamunannya, menggali dan mencari penggalan-penggalan ingatan. Via melirik sebuah jam duduk di depannya, "Baru jam 6 lewat 10", pikirnya. Kemudian dia kembali tertuju pada grafier bertuliskan Rei yang menghiasi jam duduk itu. Lamunannya kembali berkelana.

Sudah berbulan-bulan lamanya, seseorang mengirimkan hadiah bergrafier ke alamat rumahnya. Tiap paket yang selalu berbungkus kertas biru, lengkap dengan pita berwarna kuning, serta kartu nama yang tercetak indah: Rei. Barang-barang yang dikirim lewat paket kilat itu semua berwarna coklat tua, dan selalu berhiaskan grafier Rei. Ntah sudah berapa kali Via mengembalikan paket itu ke kantor pos, namun dalam pemeriksaan, pihak kantor pos menyatakan bahwa paket-paket itu adalah benar ditujukan pada alamat rumah Via. Bahkan alamat pengiriman itu pun mencantumkan nama lengkapnya: Sylvia Ratina. Paket-paket itu selalu datang tanggal 15 tiap bulannya, tak ada kartu selamat, kartu ucapan, atau tulisan lainnya selain kartu bertuliskan Rei. Via pun semakin terbiasa dengan kedatangan paket-paket itu. Bahkan banyak di antaranya yang dipajang di kamar pribadi Via.

Di tengah kemacetan petang itu, Via tertegun melihat sebuah rumah megah tepat di samping mobilnya. "Rumah yang sangat bagus", gumamnya, "namun tampak tak berpenghuni" pikirnya lagi. Kekagumannya pada rumah itu terganggu dengan bunyi klakson berulang-ulang, tanda mobilnya harus segera merayap lagi. Di depan tugu tua berhiaskan patung lumba-lumba, Via membelokkan mobilnya ke kiri. Dua orang satpam kompleks perumahan mengangguk tersenyum mempersilakan mobilnya lewat. Via pun tersenyum, namun hambar. Pikirannya tertuju pada rumah mungilnya, tertuju pada kotak posnya.

Setelah memarkir mobil, Via bergegas menuju kotak pos ukuran besar dekat pintu gerbang utama rumahnya. Seperti biasa, dia mendapati kotak biru, berpita, dan berkartu nama. Ia pun duduk di beranda rumah dan membuka kotak itu. Dia termenung melihat isi kotak yang diperolehnya hari ini. Sekarang kotak itu bukan berisi barang-barang antik yang biasanya terkesan mahal. Kali ini yang diperolehnya adalah sebotol parfum ...
dan sebuah surat.

Bersambung

Popular Posts